Selasa, 17 Mei 2011

Rule of Law

Indra Halim Siregar
38410220

RULE OF LAW
A.        Latar Belakang Rule of Law
Latar belakang kelahiran rule of law
Diawali oleh adanya gagasan untuk melakukan pembatasan kekuasaan pemerintahan Negara. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu Demokrasi Konstitusional. Perumusan yuridis dari Demokrasi Konstitusional adalah konsepsi negara hukum.

Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
·         Supremasi aturan-aturan hukum.
·         .Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum
·         Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
·         Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang
·         demokrasi menurut rule of law adalah:
·         Adanya perlindungan konstitusional.
·         Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
·         Pemilihan umum yang bebas.
·         Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
·         Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
·          Pendidikan kewarganegaraan.
Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesame warga Negara maupun pemerintah. Untuk membangun kesadaran di masyarakat maka perlu memasukan materi instruksional rule of law sebagai salah satu materi di dalam mata kuliah Pendidikan Kewareganegaraan (PKn). PKn adalah desain baru kurikulum inti di PTU yang menjunjung pencapaian Visi Indonesia 2020 (Tap. MPR No. VII/MPR/2001) dan Visi Pendidikan Tinggi 2010 (HELTS 2003-2010-DGHE). Materinya merupakan bentuk penjabaran UU No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
B.    Pengertian Rule of Law
Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya nrgara. Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
C.    Prinsip-prinsip Rule of Law di Indonesia
Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan:
¨      bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “eri keadilan”
¨       …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
¨      …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
¨      …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
¨      “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
¨  …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
a.      Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3),
b.      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan (pasal 24 ayat 1).
c.       Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hokum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1).
d.     Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
● Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya dengan (penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law. Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi social yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat legalisme maka mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan pembuatan system peraturan dan prosedur yang sengaja bersufat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of law telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law belum dirasakan dimasyarakat.
Strategi Pelaksanaan (Pengembangan) Rule of Law Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan yang diharapkan, maka:
Ø  Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
Ø  Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
Ø  Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo: 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hokum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif  memuat kandungan moral yang kuat.
Ø  Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
Ø  Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
Ø  Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).
Beberapa kasus dan ilustrasi dalam penegakan rule of law antara lain:
Ø  Kasus korupsi KPU dan KPUD;
Ø  Kasus illegal logging;
Ø  Kasus dan reboisasi hutan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung (MA);
Ø  Kasus-kasus perdagangan narkoba dan psikotripika ;
Ø   Kasus perdagangan wanita dan anak.

Tugas PKN : Demokrasi

Indra Halim Siregar
38410220
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Demokrasi dikenal dalam pengertian universal, Konseptual dan kontekstual.
PENGERTIAN DEMOKRASI MENURUT ETIMOLOGIS / BAHASA
Demokrasi pengertian etimologis mengandung makna pengertian universal. Abraham Lincoln th 18673 memberikan pengertian demokrasi " government of the people, by the people, and for the people". Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos = rakyat dan cratos atau cratein=pemerintahan atau kekuasaan. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat memegang kedaulatan.

PENGERTIAN DEMOKRASI MENURUT TERMINOLOGI
Secara terminologi, Demokrasi dari segi terminology mengandung makna demokrasi konseptual. Demokrasi dilihat dari segi pemikiran politik. Torres demokrasi dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik. Clssical Aristotelian theory, medieval theory dan contemporary doctrine. Torres melihat demokrasi dari segoi formal dan substantive.
Formal menunjuk pada demokrasi dim arti system pemerintahan. Substantive menunjuk pada demokrasi dalam 4 bentuk.
1.      Menitik beratkan pada perlindungan terhadap tirani.
2.      Titik berat pada manusia mengembangkan kekuasaan dan kemampuan.
3.      Melihat keseimbangan partisipasi masyarakat terhadap beban yang berat dan tuntutan yang tidak dapat dipenuhi
4.      Bahwa tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa perubahan lebih dulu dalam keseimbangan social dan kesadaran social. Perubahan social dan partisipasi demokratis perlu dikembanakan secara bersamaan karena satu sama lain salina keteraantunaan.

JENIS – JENIS DEMOKRASI
1.     Pelaksanaan demokrasi ini ada dua cara yaitu demokrasi Iangsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung, rakyat seluruhnya dikutsertakan dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijakan dan mengambil keputusan. Hal ini terjadi pada zaman yunani kuno (abad ke 4 SM – abad ke 6 SM). Pada masa itu Yunani berupa negara kota (polis). Akan tetapi pada masa itu ada pembatasan ikut dalam pemerintahan adalah anak, wanita dan budak. Akibat perkembangan penduduk maka system demokrasi.
2.     Akibat perkembangan penduduk maka demokrasi langsung sudah tidak memungkin lagi sehingga timbul cara kedua yaitu demokrasi tidak langsung. Demokrasi tidak langsung dilaksanakan melalui system perwakilan. Biasanya dilaksanakan dengan cara pemilihan umum. Secara terminology . Demokrasi dari segi terminology mengandung makna demokrasi konseptual. Demokrasi dilihat dari segi pemikiran politik. Torres demokrasi dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik. Clssical Aristotelian theory, medieval theory dan contemporary doctrine. Torres melihat demokrasi dari segoi formal dan substantive.

DEMOKRASI BERDASARKAN PRINSIP IDEOLOGI
1.     DEMOKRASI PANCASILA
Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas dan sempit.
Secara luas, demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, ekonomi dan social. Secara sempit, demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sehubungan dengan demokrasi Pancasila, di Indonesia mengenal juga istilah "masyarakat Madani" (civil society).
Welzer dengan rumusan konseptual, civil society adalah jaringan yang kompleks dari LSM diluar pemerintahan ne-gara (NGO) yang bekerja secara merdeka atau bersama- sama pemerintah yang diatur oleh hukum. la merupakan ranah publik yang beranggotakan perorangan.

Menurut Samuel Huntington sistem poiitik demokrasi dapat dibedakan dari system politik demokrasi dan non demokrasi. Sistem poiitik demokrasi didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur dan kelembagaan yang demokratis. Sistem ini mampu menjamin hak kebebasan warganegara, membatasi kekuasaan pemerintah dan memberikan keadilan. Indonesia sejak awal berdiri sudah menjadikan demokrasi sebagai pilihan sistem politik. Negara Indonesia sebagai negara demokrasi terdapat pada pembukaan UUD 45 alinea ke 4 dan Ps 1 ayat (2) UUD 45 (sebelum di amandemen), kedaulatan adaiah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ps 1 ayat (2) seteiah diamandemen berubah menjadi "kedauiatan berada dita-ngan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Perubahan ini menghilangkan kata "dilaksanakan sepenuhnya" menjadi dilaksanakan menu-rut UUD. Apapun perubahannya ini membuktikan sejak berdirinya negara Indonesia teiah menganut demokrasi.
2.      DEMOKRASI LIBERAL DAN TERPIMPIN
Mengamati proses demokrasi di Indonesia yang terjadi sampai sekarang, harus diakui bahwa sejak proses pemilu 3 kali pada tahun 2004 lalu, dinilai oleh dunia Internasional bahwa Indonesia benar2 sudah menjadi negara demokrasi dengan mayoritas Muslim terbesar didunia. Hal ini sungguh sangat dicermati oleh AS dan negara2 yang tergabung G-8.
Namun apa yang berjalan saat ini ternyata proses demokrasi yang sedang berjalan ini tidak terarah, disebut demokrasi liberal, ya, juga, tapi liberal yang kebablasan. Coba kita lihat saja, hampir semua pilkada yang dilaksanakan selalu berakhir dengan ricuh bahkan cenderung anarkis.

Mencermati kembali demokrasi yang terjadi dalam negara2 maju selama 2 dasawarsa terakhir ini apalagi setelah pasca "perang dingin" selesai serta hancurnya "komunisme" dinegara negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Banyak negara demokrasi sebelumnya semakin berkembang menjadi demokrasi liberal, khususnya Amerika Serikat. Demokrasi liberal tsb. juga diikuti oleh liberalisasi ekonomi global.
Namun pasca tragedi 9/11 di New York lalu, telah merubah "persepsi" demokrasi liberal dinegara adi daya itu menjadi "Demokrasi Terpimpin". Dan itu terjadi dalam era presiden G.W. Bush dan berlanjut sampai kini.

Believe it or not, hal ini tidak disadari oleh penduduk AS sendiri. Bahkan sampai urusan ekonomi liberal inipun juga masih ingin dikontrol oleh AS. Contoh, Irak dan Afghanistan, mengapa AS belum mau lepas kendali dikedua negara tsb.???? Ditambah lagi semakin kebakaran jenggot dengan terjadinya perubahan politik di Iran, serta Korea Utara yang belum tunduk. Juga mengapa AS menolak "protokol Kyoto"????? Dengan kata lain sebenarnya G.W. Bush Atau AS berambisi untuk menguasai dunia.

Demokrasi terpimpin ini juga sebenarnya dianut oleh Inggris, tetapi itu adalah wajar karena negara tsb. adalah negara monarki. Mengapa AS sangat bersahabat dengan Inggris???? Karena satu2nya negara "Uni Eropa" yang masih menolak "satu mata uang EURO"; yang sebenarnya adalah ketakutan Inggris akan tenggelam dalam nama besar "UNI EROPA".

DEMOKRASI BERDASARKAN WEWENANG DAN HUBUNGAN ANTAR ALAT KELENGKAPAN NEGARA
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan ini (1945-1949), pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada interaksi politik diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan.  Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi dictator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi system kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hamper semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranam yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politis pada umumnya sangat tinggi. Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh pelung yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi Pemikihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga Negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Keenam, dalam masa pemerintahan Parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan otonomi yamg seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
mengapa demokrasi perlementer mengalami kegagalan?, banyak sekali para ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekian banyak jawaban, ada beberapa hal yang dinilai tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong.
Kedua, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional. Ketiga, dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
Keempat, Basis social ekonomi yang masih sangat lemah.
Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi perlementer. Pertama, mengburnya system kepartaian. Kedua,dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,peranan lembaga legislative dalam system politik nasional menjadi sedemikian lemah. Ketiga, Hak dasar manusia menjadi sangat lemah.
Keempat, masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers. Kelima, sentralisasi kekuasaan yang semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah.

Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hamper ridak pernah terjadi. Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup.
Ketiga, Pemilihan Umum. Keempat, pelaksanaan hak dasar waega Negara.
Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indicator kedemokrasian di Indonesia.Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya system multi partai dalam pemilu tahun 1999.Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformsi ini adalah demokresi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik tang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959.Pertama, Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya.Kedua, ritasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampi pada tingkat desa. Ketiga, pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
Keempat, sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kenenasan pers, dan sebagainya.

Rabu, 13 April 2011

TUGAS PKN : HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA
By     : Indra Halim Siregar
NPM : 38410220


Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan kewajiban dan hak warga terhadap negara.
Beberapa contoh kewajiban negara adalah kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil, kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara , kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat, kewajiban negara memberi jaminan sosial, kewajiban negara memberi kebebasan beribadah.
Beberapa contoh hak negara adalah hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintahan , hak negara untuk dibela, hak negara untuk menguasai bumi air dan kekeyaan untuk kepentingan rakyat.
Dalam deretan pasal-pasal beserta ayat-ayatnya UUD 1945 secara jelas mencantumkan hak serta kewajiban negara atas rakyatnya yang secara jelas juga harus dipenuhi melalaui tangan-tangan trias politica ala Monteqeiu. Melalui tangan Legeslatif suara rakyat tersampaikan, melalui tangan eksekutif kewajiban negara, hak rakyat, dipenuhi, dan di tangan yudikatif aturan-aturan pelaksanaan hak dan kewajiban di jelaskan. Idealnya begitu, tapi apa daya sampai sekarang boleh di hitung dengan sebelah tangan sedah berapa jauh negara menjalankan kewajibannya. Boleh dihitung juga berapa banyak negara menuntut haknya. Bukan hal yang aneh ketika sebagian rakyat menuntut kembali haknya yang selama ini telah di berikan kepada negara sebagai jaminan negara akan menjaga serta menjalankan kewajibannya. Negara sebagai sebuah entitas dimana meliputi sebuah kawasan yang diakui (kedaulatan), mempunyai pemerintahan, serta mempunyai rakyat. Rakyat kemudian memberikan sebagian hak-nya kepada negara sebagi ganti negara akan melindunginya dari setiap mara bahaya. serta berkewajiban untuk mengatur rakyatnya. Hak-hak rakyat tadi adalah kewajiban bagi sebuah negara. Hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kerja serta hak-hak untuk mendapatkan pelayanan umu seperti kesehatan, rumah,dan tentunya hak untuk mendapatkan pendidikan. Semuanya itu harus mampu dipenuhi oleh negara, karena itulah tanggung jawab negara., kalau hal itu tak bisa dipenuhi oleh sebuah negara maka tidak bisa disebut sebuah negara.
Dalam UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air misalnya, di bagian menimbang sudah di jelaskan atas nama demokrasi, desentralisasi dan keterbukaan maka pengolahan sumber daya air, masyarkat dapat berperan penuh. Artinya secara tidak langsung sekelompok masyarakat atau satu orang, bisa kemudian memiliki sumber daya air dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Padahal di pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa segala macam sumber daya yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak (air, udara, maupu sumber udara alam lainnya) dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan umum. Dapat dibayangkan jika nanti kita akan membeli air yang mengalir di sampin rumah kita, atau bahkan tidak boleh menampung air hujan karena itu adalah hasil penguapan sebuah danau yang telah dimiliki sekelompok atau satu orang saja.
Adapun dalam hal kebutuhan pokok kolektif (pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan), semua itu menjadi tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab setiap individu rakyat. Karena itu, tidak selayaknya Pemerintah membebankan pemenuhan kebutuhan pokok terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepada rakyat; baik pengusaha maupun buruh. Pengusaha tidak selayaknya dibebani dengan kewajiban untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan-meskipun ia boleh melakukannya jika mau, apalagi jika itu telah menjadi bagian dari akadnya dengan buruh. Yang terjadi saat ini, pengusaha justru sering dibebani oleh beban-beban seperti di atas yang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah.

TUGAS PKN : HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
By     : Indra Halim Siregar
NPM : 38410220

Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Hak Warga Negara Indonesia :
-   Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
-   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
-   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
-   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).
Kewajiban Warga Negara Indonesia  :
-   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi :
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945
menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara”.
-   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan :
Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

TULISAN PKN : ARTI WARGA NEGARA

ARTI WARGA NEGARA
By     : Indra Halim Siregar
NPM : 38410220

Warga negara merupakan terjemahan kata citizens (bahasa Inggris) yang mempunyai arti ; warga negara, petunjuk dari sebuah kota, sesama warga negara , sesama penduduk, orang setanah air; bawahan atau kaula
Warga mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu organisasi atau perkumpulan. Warga negara artinya warga atau anggota dari organisasi yg bernama  negara.
Ada istilah rakyat, penduduk dan warga negara. Rakyat lebih merupakan konsep politis. Rakyat menunjuk pada orang-orang yang berada dibawah satu pemerintahan dan tunduk pada pemerintahan itu. Istilah rakyat umumnya dilawankan dengan penguasa. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara dalam kurun waktu tertentu.
Kewarganegaraan (citizenship) artinya keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara.
Istilah kewarganegaraan dibedakan menjadi dua yaitu :
a. kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis, dan
b. kewarganegaraan dalam arti formil dan materiil
Yang menjadi warga Negara Indonesia ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang (pasal 26 UUD 1945).
Undang-undang yang mengatur tentang warga negara adalah UU No 12 th 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Asas –asas yang dipakai dalam UU ini adalah; asas isu sanguinis, asas ius soli terbatas, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas.
Dalam UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, dijelaskan bahwa yang dimaksud WNI adalah seperti diatur dalam pasal 4.
Bunyi Pasal 4 UU  No 12 Th 2006 sbb.:
Warga Negara Indonesia adalah:
A.     Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia
B.     Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia.
C.     Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
D.     Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
E.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
F.      Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
G.     Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
H.     Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas)  tahun atau belum kawin;
I.        Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
J.        Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
K.     Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
L.      Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
M.    Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Senin, 14 Maret 2011

IMPLEMENTASI KEBEBASAN AGAMA

IMPLEMENTAS KEBEBASAN HAM
By     : Indra Halim Siregar
NPM : 38410220

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
“Demokrasi tanpa kebebasan sipil”, demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan agaknya merupakan sebuah “barang langka”. Karena melaksanakan sholat dua bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin “komunitas eden” karena dianggap sebagai nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri pancasila yang mencerminkan “keanekaragaman” dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya.
Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak berguna sama sekali.
Jika dicermati lebih jauh, rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Lihat misalnya undang-undang No 1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat kontradiktif dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat wajar jika agama agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di terima hidup di di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang termaktub pada pasal 28 (e) dan pasal 29 undang-undang 1945.
Realitas Kebebasan Beragama dan Pelanggaran HAM di Indonesia
HAM mestilah menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia ketika undang-undang kebebasan beragama sebagai jaminan hak atas kebebasan beragama dirasa mengalami “kemandulan”, sebab dalam praktiknya undang-undang tersebut tidak dapat di implementasikan dengan baik. Akan tetapi, keberadaan HAM di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, masih mengalami “kemandulan”. Namun demikian, jika hukum yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia tidak, atau belum terimplementasi, masih saja terjadi pelanggaran di sana-sini baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan tidak berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia (internasional). Lain halnya dengan pelanggaran HAM berikut konvenan-konvenan yang telah diratafikasi, tentu akan berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia.
Pada pasal 5 bagian kedua Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik misalnya, dengan tegas disebutkan: pertama, tidak satupun ketentuan dalam konvenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada Negara, kelompok atau individu untuk terlibat dalam kegiatan atau melaksanakan suatu tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui di sini, atau untuk membatasinya lebih dari pada yang telah ditetapkan dalam konvenan ini; dan kedua, tidak boleh ada pembatasan atau pengurangan terhadap hak azasi manusia yang mendasar yang diakui atau yang berlaku di Negara peserta konvenan ini, menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa konvenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah.
Jika dicermati bunyi pasal di atas, maka ditemukan demikian banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Ironisnya pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, dengan turut mencampuri urusan keberagamaan masayarakatnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dijelaskan misalnya, pemenjaraan terhadap Usman Roy dan Lia Aminuiddin sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah karena telah mencampuri urusan keberagamaan umat (melanggar pasal 5 ayat 1 ICCPR); tidak terjaminnya kenyamanan Jamaah Ahmadiyah dari serangan fisik dan teror yang dilakukan masyarakat Islam pada umumnya (melanggar pasal 2 ayat 3 item pertama ICCPR). Jika ditinjau lebih jauh, tentu masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang dapat ditemukan, seperti kasus terakhir yang dialami oleh Ahmad Mushadieq pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah.
Memang dapat ditemukan beberpa pasal dalam konvena tersebut yang memberikan kelonggaran bagi Negara yang turut meratafikasi konvenan ini untuk tidak mengikuti beberapa pasal kewajiban yang telah ditentukan. Seperti dapat ditemukan pada pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan “dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan Negara dan keadaan tersebut telah dinyatakan secara resmi, Negara peserta konvenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang mengurangi (derogate) kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan konvenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan langkah-langkah tersebut harus selaras dengan kewajiban-kewajiban Negara yang lain berdasarkan hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul social semata-mata”.
Anggaplah pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan maslah kebebasan beragama di Indonesia sebagai situasi darurat, sehingga ada beberapa pasal yang kesannya “dilanggar”, tetap saja argumentasi semacam ini dirasa belum memadai untuk melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Sebab, beberapa pelanggaran atas hak kebebasan beragama di Indonesia agaknya tidak mempertimbangkan ketentuan yang dijelaskan pada pasal yang disebutkan di atas (pasal 4 ayat 1 ICCPR). Walaupun dalam praktiknya, tindak diskriminasi yang kerap dialami oleh beberapa kelompok yang dipandang sebagai “aliran sesat” terjadi karena alasan “meresahkan masyarakat”, namun keresahan-keresahan tersebut kurang cukup beralasan sebagai kondisi yang akan mengancam kehidupan Negara. Justru sebaliknya, tidak mustahil jika kebebasan beragama terbelenggu begitu ketat, sejarah “sekularisme” (penyingkiran agama dari kebijakan Negara) yang pernah terjadi di Eropa akan terulang di Indonesia, ini baru dapat disebut sebagai ancaman serius bagi kehidupan Negara.
Saran dan Kesimpulan
Ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang.
Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini. Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat melihat demikian banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras – konon, ketika kasus Amadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama meminta mereka untuk membentuk agama sendiri.
Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Referensi :
http://www.docstoc.com/docs/25976234/Implementasi-Hak-Asasi-Manusia